KARAWANG – TERASPASUNDAN.COM – Antara Gemerlap Industri dan Sunyi Keadilan Sosial. Karawang dikenal luas sebagai salah satu kawasan industri terbesar di Asia Tenggara. Lebih dari 2.000 pabrik berdiri megah, memproduksi barang bernilai triliunan rupiah setiap tahun. Tapi di tengah gegap gempita mesin industri ini, muncul pertanyaan sederhana namun menggelitik: sejauh mana denyut kehidupan masyarakat Karawang turut bergerak naik bersama pertumbuhan ekonomi tersebut.
Salah satu jembatan yang semestinya menghubungkan kemajuan industri dan kesejahteraan warga adalah program Corporate Social Responsibility (CSR). Namun, sayangnya, jembatan ini tampak seperti dibangun dari bayangan: ada dalam teori, samar dalam praktik.
*CSR: Kewajiban yang Kerap Disamarkan*
Merujuk pada UU No. 40 Tahun 2007 dan PP No. 47 Tahun 2012, CSR bukan sekadar basa-basi moral, melainkan kewajiban hukum—terutama bagi perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Sayangnya, di Karawang, praktik CSR kerap terkesan seperti kegiatan seremonial musiman, bukan upaya strategis memberdayakan masyarakat.
Bidang-bidang yang mestinya disentuh CSR seperti pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur sosial, lebih sering terdengar dalam seminar ketimbang dirasakan langsung di lapangan. Bahkan saat momen keagamaan seperti Iduladha—yang bisa menjadi ajang konkret berbagi—kontribusi dari ribuan industri di Karawang nyaris seperti bisikan di tengah keramaian.
Dan andai benar total industri di Karawang lebih dari 2.000, maka potensi dampak CSR sejatinya bisa luar biasa. Bayangkan saja: jumlah desa dan kelurahan di Karawang hanya 309. Artinya, secara matematis, satu desa atau kelurahan bisa “di-backup” oleh setidaknya enam perusahaan. Jika CSR dikelola dengan transparan dan menyeluruh, maka tak ada satu pun wilayah yang tertinggal. Namun sayangnya, realitas berkata lain—hanya desa atau kelurahan yang berdekatan dengan kawasan industri yang merasakan ‘percikan’ CSR. Sisanya? Mungkin hanya bisa melihat dari kejauhan sambil berharap keajaiban.
Semua kembali pada siapa yang mengurusnya. Karena program sebaik apapun, jika ditangani oleh mereka yang tak punya keberanian atau kemauan, akan tetap berakhir sebagai daftar laporan tanpa makna.
*DPRD Karawang: Sunyi dalam Hiruk Pikuk Industri*
Sebagai lembaga yang punya fungsi kontrol, DPRD Karawang tampaknya lebih memilih posisi penonton daripada sutradara perubahan. Alih-alih bersikap tegas, mereka justru nyaris tak terdengar ketika isu CSR muncul ke permukaan.
Tidak ada sorotan kritis terhadap perusahaan yang abai. Tidak tampak upaya mendorong transparansi dana CSR. Tak terlihat pula keberanian untuk menuntut Pemkab membenahi sistem. Entah karena terlalu hati-hati, atau justru terlalu nyaman.
Masyarakat pun mulai bertanya-tanya, tentu dengan nada yang makin getir: siapa sebenarnya yang mereka wakili?
*Forum CSR Karawang: Ada, Tapi Seperti Tak Ada*
Pemerintah Kabupaten Karawang melalui forum CSR yang dibentuk, mestinya menjadi pengatur lalu lintas antara kepentingan sosial masyarakat dan tanggung jawab korporasi. Namun, sejauh ini, forum tersebut tampaknya lebih sering hadir di daftar struktur organisasi daripada di tengah kehidupan warga.
Minimnya laporan publik, absennya peta program CSR yang terarah, hingga tidak adanya evaluasi dan audit independen, membuat publik bingung: apakah ini forum kerja atau sekadar papan nama?
Mungkin ketuanya terlalu sibuk, atau mungkin juga terlalu lembut untuk mengetuk pintu-pintu perusahaan besar yang enggan berbagi.
*Solusi: Bukan Wacana, Tapi Tindakan*
Kini saatnya Pemkab dan DPRD Karawang membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar pengisi kursi kekuasaan. Perlu dibuat regulasi turunan yang mengikat: mulai dari sistem pelaporan daring, kewajiban audit tahunan, hingga publikasi terbuka atas dana dan dampak CSR.
Forum CSR pun harus diberi ruh—bukan hanya struktur. Ia harus hidup, bersuara, dan menggerakkan. Bukan menjadi simbol kosong di balik meja rapat.
*Masyarakat punya hak tahu:*
Berapa dana CSR yang diterima Karawang setiap tahun?
Ke mana dana atau bantuan itu mengalir?
Siapa yang menerima manfaatnya?
Karena CSR bukan belas kasihan. Ia adalah kewajiban sosial. Dan kewajiban yang dibiarkan tanpa pengawasan akan melahirkan ketimpangan yang tak hanya menyakitkan, tapi juga memalukan.
Karawang tak kekurangan industri. Yang kurang justru keberanian para pemimpinnya untuk memperjuangkan keadilan sosial di tengah gemuruh mesin-mesin pabrik.
—
Penulis Artikel :
Syuhada Wisastra, A.Md., CHRM adalah praktisi senior HR & GA dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dibeberapa perusahaan nasional. Ia juga pendiri dan CEO puluhan media online yang aktif mengawal isu industri, hukum, dan sosial masyarakat.