JAKARTA | TERASPASUNDAN.COM | Kontroversi pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang menyebut seorang Praktisi Human Resource (HR) layak dipecat hanya karena mengkritik pelaksanaan job fair pemerintah sebagai kegiatan seremonial, menuai reaksi dari kalangan Profesional/Praktisi HR. Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Seluruh Indonesia (ASPHRI), Dr. Yosminaldi, SH., MM, menyesalkan pernyataan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk arogansi pejabat publik yang tidak memahami dunia ketenagakerjaan secara utuh.
“Statement seorang pejabat publik harusnya menyejukkan, bukan malah menambah kisruh situasi! Hanya karena ada yang menyampaikan kritik membangun terkait job fair, langsung bicara pecat? Apakah Pak Wamenaker paham prosedur pemecatan di perusahaan sebagaima diatur UU ketenagakerjaan? Pemecatan seorang karyawan tak bisa dilakukan, hanya sekedar menyampaikan pendapat kritis” tegas Yosminaldi, yang juga dikenal sebagai Dosen MSDM-Hubungan Industrial dan Pemerhati politik serta demokrasi itu.
Yosminaldi mengingatkan bahwa kritik terhadap pelaksanaan job fair yang dianggap hanya formalitas tsb, justru seharusnya dijadikan bahan refleksi, introspeksi dan evaluasi Pemerintah, bukan dijawab dengan ancaman pemecatan.
“Sebagai Ketua Umum ASPHRI, saya menyesalkan pernyataan Pak Wamenaker tersebut. Pemerintah selama ini justru menghimbau Pengusaha agar tidak sewenang-wenang memecat karyawan. Tapi ini Pejabat publiknya sendiri malah mengucapkan hal2 yang bisa memicu konflik internal di perusahaan.
Pernyataan seperti ini kurang elok dan kurang mencerminkan sikap seorang Pejabat Negara yang bijak,” tegasnya.
Lebih lanjut, Praktisi yang sudah berkecimpung 30 tahun di bidang MSDM & HRD itu menyebut bahwa HR bukan hanya sekadar posisi administratif dan perwakilan Pengusaha dalam proses dan mekanisme hubungan industrial di internal perusahaan, tetapi Praktisi HR adalah Jabatan strategis yang menjadi jembatan untuk menyelaraskan kepentingan Pengusaha dan Pekerja.
Praktisi HR, menurutnya adalah “Pejuang keharmonisan hubungan industrial” di dunia kerja, bukan objek yang bisa seenaknya ditekan karena mengungkapkan realita secara objektif.
“Praktisi HR itu bukan boneka Perusahaan. Mereka juga berfungsi menyerap aspirasi dan kepentingan Pekerja untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, kondusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Kalau ada yang menyebut job fair hanya formalitas, itu alarm bagi pemerintah untuk evaluasi & introspeksi, bukan malah memvonis,” ujarnya.
Yosminaldi juga menyoroti kurangnya ruang diskusi terbuka dari pihak Pemerintah, khususnya Kemnaker RI terhadap kritik masyarakat, khususnya Praktisi HR sebagai Pelaku utama hubungan industrial selain Pengusaha & Pekerja. Ia menyarankan agar Kemnaker RI bisa lebih sering menggelar seminar atau forum2 diskusi publik untuk mendengar langsung keluhan2 “stakeholders” ketenagakerjaan di lapangan, alih-alih membuat pernyataan yang justru bisa memperkeruh suasana dunia hubungan industrial yang harmonis.
“Satu ucapan yang kurang elok dari Pejabat Publik bisa, merusak citra Pemerintah di mata masyarakat, khususnya dunia ketenagakerjaan. Jangan sampai kita sendiri yang menghancurkan kredibilitas kebijakan ketenagakerjaan yang sedang kita bangun dengan susah payah,” pungkasnya. (Hd)