BEKASI | TERASPASUNDAN.COM | _”Urusan para hakim yang paling suci bukanlah untuk meratifikasi kehendak mayoritas tetapi untuk melindungi minoritas dari tirani”_ – Anna Quindlen
Mahkamah Konsitusi (MK) adalah “anak kandung” yang lahir dari rahim Reformasi 1998. Era Reformasi adalah era yang bernafaskan anti orde baru. Sebuah era baru yang “membongkar” semua sistem dan budaya orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang dinilai bobrok, otoriter, diktator dan korup.
Disaat tumbangnya Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun sejak 1966, hampir seluruh rakyat Indonesia menunjukkan euforia sebagai pelampiasan kebahagiaan yang terlepas dari belenggu otoritarianisme. Dengan era Reformasi, rakyat berharap sistem negara demokrasi dan supremasi hukum ditegakkan secara benar, sesuai dengan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
Banyak lembaga2 negara baru dan penataan sistem politik sebagai bagian dalam menumbuhkembangkan demokrasi dan hukum “direformasi” di era Reformasi. Mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung yang lebih mandiri dan independen, sistem politik multi partai serta Komisi Yudisial yang memiliki tugas untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku hakim.
Dari sejumlah lembaga2 negara yang baru sebagaimana disebut diatas, Mahkamah Konstitusi (MK) justru makin memperlihatkan “taring” kekuasaan judikatif yang berani, mandiri dan melawan arus utama (mainstream) kekuasaan yang bernuansa politis. MK yang beranggotakan Hakim2 berintegritas tinggi tersebut benar2 menunjukkan objektifitas putusan hukum yang berkeadilan, pro demokrasi dan bebas dari intervensi kekuasaan.
PUTUSAN BERANI MK
Dari sejumlah Putusan2 MK yang berdiri sejak 13 Agustus 2003 berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), ada 3 (tuga) Putusan menarik yang memperlihatkan keberanian, kemandirian, pro demokrasi, pro rakyat dan anti intervensi kekuasaan MK, sebagai berikut:
1. *Penghapusan Presidential Threshold 20 persen.*
Putusan ini berdampak besar terhadap sistem pemilu di Indonesia dan demokrasi secara umum. Diketahui, Presidential Threshold adalah syarat minimal bagi partai atau gabungan partai untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Aturan ini sebelumnya dianggap mengurangi ruang bagi partai kecil untuk berpartisipasi dalam pencalonan presiden. Keputusan MK untuk menghapuskan ketentuan ini memberikan angin segar bagi keberagaman calon presiden.
Penghapusan ambang batas memungkinkan setiap partai politik mengajukan calon presiden dan wakil presiden tanpa koalisi. Hal ini ditegaskan dalam pembacaan putusan MK.
Secara teori, 30 partai peserta pemilu dapat menghasilkan 30 pasangan calon presiden. Mahkamah Konstitusi menegaskan pengusulan calon presiden kini tidak bergantung pada kursi DPR atau suara nasional.
Langkah ini bertujuan mengurangi dominasi partai politik besar yang selama ini membatasi jumlah pasangan calon. Dominasi tersebut dinilai mengurangi pilihan bagi pemilih dalam pemilu.
2. *Ambang batas parlemen 4 persen konstitusional bersyarat*
Melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) perihal ambang batas parlemen empat persen. MK menyatakan ambang batas parlemen empat persen tetap konstitusional untuk Pemilu DPR 2024, tetapi konstitusional bersyarat untuk Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.
Dalam hal ini, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah norma serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang diatur dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak ada dasar rasionalitas dalam penetapan ambang batas parlemen empat persen selama ini.
MK memerintahkan ambang batas parlemen diatur ulang dengan berpedoman kepada persyaratan yang termaktub dalam pertimbangan putusan, antara lain, harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan, perubahan tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu, mewujudkan penyederhanaan partai politik, rampung sebelum tahapan Pemilu 2029, dan melibatkan berbagai kalangan dengan prinsip partisipasi publik bermakna.
3. *Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mewajibkan Pemerintah menggratiskan biaya pendidikan untuk jenjang SD dan SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta.*
Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan negara menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun dari SD hingga SMP, termasuk sekolah swasta tertentu. Namun sekolah swasta ‘elite’ dibolehkan memungut biaya dari siswa.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terkait frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam Putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyebut negara—pemerintah pusat dan daerah—harus membebaskan biaya pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Ketiga Putusan MK tersebut diatas menunjukkan keberanian, kemandirian dan ketegasan MK dalam menegakkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Putusan2 tersebut memberikan implikasi positif dalam penegakkan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan dan HAM secara proporsional. Selain itu, secara nyata memberikan kemanfaatan yang merata untuk setiap warga negara yang memiliki hak dasar pendidikan sebagaimana diamanatkan Konstitusi negara.
Kita harapkan MK selalu berpihak kepada peningkatan kualitas demokrasi, keadilan politik yang memberikan kebebasan secara proporsional serta optimalisasi pemanfaatan keuangan negara untuk kesejahteraan rakyat yang berdampak kepada kemajuan bangsa dan negara secara holistik.
Bekasi, 31 Mei 2025
Dr. Yosminaldi, SH.MM (Ketua Umum ASPHRI, Dosen Univ Pertiwi Bekasi & Pemerhati Politik & Demokrasi)