TERASPASUNDAN.COM | Berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 mengantarkan Indonesia ke dalam era Reformasi. Era ini lahir dengan harapan baru, membawa kebebasan berpendapat dan demokratisasi. Reformasi menjadi puncak perjuangan para demonstran yang menginginkan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, di mana rakyatnya kini bebas untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat.
Salah satu produk penting dari era Reformasi adalah otonomi daerah, yang diperingati setiap tanggal 25 April. Otonomi daerah hadir sebagai respons terhadap pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistis. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan pada masa itu terpusat pada pemerintah pusat, yang berakhir pada keputusan presiden. Dalam sistem ini, partisipasi rakyat dibatasi, baik dalam hak politik, sipil, budaya, hingga sosial-ekonomi. Masyarakat lokal pun tidak memiliki ruang untuk menyalurkan aspirasinya, yang menyebabkan kebijakan-kebijakan tersebut kurang efektif.
Otonomi daerah hadir sebagai alternatif dari sistem sentralisasi, yaitu dengan memberikan kebebasan lebih pada daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri. Desentralisasi ini memberikan kesempatan bagi partisipasi masyarakat lokal yang lebih besar dalam pemerintahan.
Secara sederhana, otonomi daerah berarti pemindahan tanggung jawab perencanaan pembangunan dari pemerintah pusat ke daerah. Setiap daerah kini dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat memperkenalkan UMKM lokal kepada investor asing, yang bisa menguntungkan perekonomian daerah. Berbeda dengan masa lalu, ketika kebijakan yang bertentangan dengan pusat langsung dibatalkan.
Sistem ini memungkinkan daerah untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya, baik sumber daya politik, ekonomi, manusia, sosial, hingga budaya. Dengan pemanfaatan yang tepat, daerah dapat membuat kebijakan yang lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan lokal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, meski harapan otonomi daerah cukup besar, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Salah satu tantangan besar adalah kondisi daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Daerah-daerah ini sering kali memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga pengelolaan keuangan dan perencanaan pembangunan menjadi sulit. Akses terhadap informasi dan teknologi juga terbatas, yang memperburuk kondisi mereka.
Tak jarang, daerah-daerah tersebut terlalu bergantung pada pemerintah pusat untuk sumber daya dan dukungan keuangan, sehingga mereka kesulitan membuat kebijakan secara mandiri. Selain itu, masalah sosial dan budaya seperti konflik antar suku dan agama juga masih sering terjadi.
Pertanyaannya, apakah otonomi daerah dapat benar-benar mengatasi permasalahan ini, atau justru semakin menyulitkan daerah-daerah terpencil dalam membuat kebijakan karena ketergantungan pada pusat? Bahkan jika pengelolaannya sudah baik, apakah sumber daya yang tersedia cukup untuk memajukan daerah tersebut?
Tantangan penerapan otonomi daerah tidak hanya terjadi di daerah terpencil. Praktik otonomi daerah di Indonesia juga cenderung eksklusif. Pemerintah daerah sering kali mengutamakan konstituen yang memilih mereka, sementara kelompok yang tidak memilih seakan dilupakan.
Hal ini mencerminkan adanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta eksklusi sosial, di mana kebijakan-kebijakan yang ada tidak dinikmati secara adil oleh seluruh masyarakat.
Dalam konteks ini, kita kembali bertanya: apakah otonomi daerah benar-benar mendorong pembuatan kebijakan yang sesuai dengan harapan semua warga, atau justru menjadi alat untuk memperlancar praktik korupsi dan memperkaya pihak tertentu?
Otonomi daerah seharusnya bukan hanya soal pemindahan tanggung jawab perencanaan pembangunan dari pusat ke daerah. Ini adalah komitmen yang harus dijaga oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat haruslah responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam menjalankan otonomi daerah. Kegiatan sederhana seperti mematuhi peraturan pemerintah daerah, misalnya dengan mengurangi penggunaan kantong plastik dan beralih ke tas ramah lingkungan, merupakan bagian dari kontribusi dalam mewujudkan otonomi daerah yang efektif.
Namun, partisipasi yang lebih besar, seperti terlibat dalam program-program pembangunan, juga sangat dibutuhkan.
Dengan demikian, otonomi daerah yang sesungguhnya adalah otonomi yang mampu memajukan daerah, membuatnya mandiri, tetapi tetap menjaga cita-cita nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju. Otonomi daerah yang bersih dari praktik-praktik kotor, yang mengutamakan aspirasi warga lokal, adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, baik di tingkat lokal maupun di kancah internasional.
Penulis: Gilang
Sumber: Berbagai literasi dan pustaka pribadi
Editor: Redaksi