Carut Marut PPDB Zonasi, Langkah Maju atau Kemunduran?

SUBANG | TERASPASUNDAN.COM | Jika kita menengok ke belakang, memutar ingatan pada 7 tahun silam tepatnya pada tahun 2017. Dimana pada tahun tersebut kebijakan zonasi resmi disahkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi era Muhadjir Effendy.

Menurutnya, Kebijakan ini sebetulnya meniru sistem serupa PPDB yang diterapkan oleh negara-negara maju di Eropa. Ia juga menekankan bahwa melalui sistem zonasi, pemerintah ingin melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Hal itu juga menjadi strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas.

Bacaan Lainnya

Akan tetapi, apakah kebijakan zonasi tersebut cocok untuk diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia? Akankah kebijakan zonasi menjadi tolok ukur kemajuan atau bahkan kemunduran?

Carut-marut sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah melalui Kemendikbudristek ini kian menjadi biang kericuhan dan kesemrawutan yang tak kunjung abstain.

Pasalnya, dalam beberapa temuan di lapangan terkait PPDB sistem zonasi hingga kini kian menguak fakta yang cukup ironi. Mulai dari penurunan kualitas prestasi siswa-siswi, hingga hilangnya reputasi atau label favorit beberapa sekolah. Kebijakan zonasi yang semakin membatasi harapan siswa-siswi berprestasi untuk bisa mengenyam bangku pendidikan di sekolah impian.

Seperti terjadi di Kecamatan Pamanukan, sebagian anak yang berada di pelosok, mereka harus menerima kepahitan terkait kegagalannya menjadi siswa-siswi terpilih di sekolah pilihannya karena dikalahkan oleh siswa-siswi yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah tersebut. Oleh karena itu, kebijakan zonasi kian dianggap membunuh banyak harapan yang mereka langitkan.

Ada beberapa pertanyaan yang kian membooming hingga menjadi bahan perbincangan di setiap obrolan masyarakat Pamanukan.

Bagaimana anak-anak di Dusun Poponcol Desa Pamanukan Hilir? Bagaimana anak-anak di Desa Pamanukan Sebrang? Bagaimana anak-anak di Desa Bongas?

Melihat hal itu, Pemerhati Pendidikan di Pantura Subang Asep Maulana meminta pemerintah untuk mengkaji ulang sistem PPDB yang saat ini diberlakukan.

“Parah, sekarang ada sekolah dasar yang tidak diterima sama sekali, seperti SDN Budidaya. Menurut saya, sistem PPDB yang sekarang ini harus dikaji ulang, jika memberikan kebijakan seperti itu, maka pemerintah harus memberikan infrastruktur yang komplit, saat ini kan infrastruktur nya belum memadai,” kata Asep.

Asep menilai, Kemendikbudristek mengeluarkan kebijakan seenak jidat tanpa pengkajian yang matang sehingga membuat para orangtua siswa dan pihak sekolah pusing.

Senada dengan Asep, Tokoh Muda di Pamanukan Gesi Gumilang juga berpendapat bahwa kebijakan pemerintah terkait sistem PPDB saat ini tidak fair.

“Kurang fair ini, jika ingin menggunakan sistem zonasi, maka pemerintah harus meratakan jumlah sekolah antara di kota dan di daerah. Jangan hanya bercermin di kota saja, jika di daerah belum siap maka hasilnya seperti saat ini,” kata Gesi.

Menurutnya, jika sistem PPDB ini tidak dirubah maka bisa jadi tidak akan meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini.

“Karena anak tidak bisa bersaing, lihat saja anak yang prestasinya di bawah standar saja bisa masuk SMPN, sedangkan anak yang berprestasi tidak bisa masuk ke SMPN karena jarak rumahnya yang jauh,” kata Gesi.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu menilik secercah harapan bagi siswa-siswi, orang tua hingga pihak sekolah yang terdampak kebijakan zonasi. Dengan kolaborasi dan koordinasi yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat. Hal itu akan efektif bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait PPDB tanpa melihat dari satu sisi saja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

dpdiwoilamsel