Tragedi Rawagede, Kisah Tragis Yang Tak Akan Pernah Terlupakan

Peristiwa disebut sebagai pembantaian Rawagede ini terjadi agresi militer pertama Belanda.

Awalnya, tentara kolonial menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil.

Bacaan Lainnya

Pada masa Perang Kemerdekaan, Karawang adalah basis kaum Republik. Rengasdengklok, sebuah daerah di Karawang, merupakan tempat disembunyikannya Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Karawang menjadi daerah pertahanan setelah Bekasi jatuh ke tangan Belanda. Para gerilyawan banyak yang dikejar di kota ini.

Suatu kali, pasukan Belanda pimpinan Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons memasuki Rawagede. Pasukan Belanda itu mencari seorang kapten tentara Republik bernama Lukas Kustaryo.

Lukas bergerilya di sekitar Rawagede dan sangat merepotkan Belanda. Dia sulit ditemukan, sehingga kepalanya dihargai 10.000 Gulden. Militer Belanda yang bertugas di sekitar Karawang-Bekasi menyebut Lukas sebagai Begundal Karawang.

Karena jejaknya sulit ditemukan, akhirnya militer Belanda mengumpulkan dan menghabisi laki-laki di Rawagede yang dianggap pro Republik. Seolah tidak mau kalah dengan kejamnya pasukan Kapten Raymond Westerling di desa-desa Sulawesi Selatan, korban di Rawagede yang dibunuh pada 9 Desember 1947, tepat hari ini 74 tahun lalu, mencapai 431 orang.

Sebelum terjadi pembantaian, Lukas sempat tinggal di Desa Pasirawi, tak jauh dari Rawagede. Lukas berduka karena banyak orang sipil dibunuh tentara Belanda yang kesulitan menangkapnya. Lukas sendiri kehilangan banyak anggota kompinya selama bergerilya di sekitar Karawang- Cikampek. Kompinya yang seharusnya berjumlah seratusan orang, tersisa tinggal 40-an orang.

Hingga militer Belanda hengkang dari Indonesia, Lukas tidak tersentuh para pengincarnya. Dia lalu meneruskan karier militernya. Batalion Lukas sempat dikirim ke Maluku untuk melawan angkatan perang Republik Maluku Selatan (RMS). Pasukannya berada di Maluku ketika Letnan Kolonel Slamet Rijadi terbunuh pada November 1950.

Pertengahan tahun 1950-an, Lukas menjadi politikus dan menjadi anggota parleman mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan Abdul Haris Nasution beserta koleganya. Pangkat terakhir Lukas adalah Brigadir Jenderal.

Penantian panjang para keluarga korban pembantaian Rawagede sejak tahun 2008 akhirnya dapat terwujud, karena pertengahan September 2011, tepatnya pada 14 September 2011, pengadilan sipil Den Haag telah menjatuhkan vonis pada negara Belanda untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh keluarga korban pembantaian di Rawagede dengan membantai 431 warga Rawagede.

Dengan putusan ini, Pemerintah Belanda diwajibkan untuk memberikan kompensasi terhadap keluarga korban dan meminta maaf secara resmi atas peristiwa tersebut, untuk itu negara harus membayar ganti rugi kepada para korban.

Hakim pengadilan Belanda memutuskan jumlah ganti rugi adalah 20.000 euro sekitar 240 Juta Rupiah untuk masing-masing ahli waris korban.

Keluarga korban yang kini menerima kompensasi adalah delapan orang janda dan seorang anak dari keluarga korban, yaitu Tasmin bin Saih putra dari Saih bin Sakam satu-satunya korban selamat Rawagede yang meninggal di bulan Mei 2011.

Desa Rawagede sekarang memang sudah tidak ada lagi dan berganti dengan nama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang. Meski sekarang Desa Rawagede sudah tidak ada dan berganti nama menjadi Balongsari, namun kenangan pahit tentang tragedi Rawagede ini menyisakan trauma tersendiri bagi warga desanya, khususnya pada beberapa saksi mata yang terlibat langsung atas tragedi tersebut. (FJR)

Pos terkait